按 Enter 到主內容區
:::

回培力新住民資訊網首頁

Partisipasi Publik
:::

Hsin Peng Hsing Ibu yang tak tergoyahkan (dikutip dari kolom penulis Presentasi Hasil Program Meraih Mimpi Penduduk Baru beserta Putra Putrinya Tahun 2015)

  • 回上一頁
  • 友善列印
字型大小:
  • 地點:Taiwan
  • 發布日期:
  • 單位:內政部移民署
  • 更新日期:2019/10/29
  • 點閱次數:263
Hsin Peng Hsing   Ibu yang tak tergoyahkan (dikutip dari kolom penulis Presentasi Hasil Program Meraih Mimpi Penduduk Baru beserta Putra Putrinya Tahun 2015)

Penulis: Hsu Hua-zi, pelajar

Kisah cerita
“Ibuku adalah orang Indonesia”. Sebuah kalimat yang tak berani, yang tidak bisa kuakui mulai dari aku kecil hingga dewasa, hanya dikarenakan ibuku adalah seorang penduduk baru. Bagi seseorang yang berada dalam situasi yang sama seperti saya, kata-kata “penduduk baru” seakan-akan memberi cap khusus kepada ibu kita, frasa “keturunan baru Taiwan” membuat kita seakan-akan berbeda, menarik pandangan orang yang berbeda pula, selama berada di jenjang sekolah dasar hingga SMA, kita bahkan dikucilkan, hingga memasuki universitas, perasaan itu secara perlahan menjadi semakin tawar.

Pada akhir bulan Desember 2014, secara kebetulan saya menemukan “program obor penduduk baru”, karena rasa ingin tahu, saya pun mencoba memahami bantuan apa yang diberikan kepada penduduk baru dan keturunan baru Taiwan melalui program ini, saya pun terharu, misalnya program ini memberikan bantuan untuk membeli bahan-bahan pengajaran bahasa ibu penduduk baru bagi sekolah-sekolah dasar di wilayah terpencil, hal ini memberikan banyak jalan dan sumber-sumber pembelajaran bahasa ibu bagi generasi kedua penduduk baru yang kini duduk di bangku SD, bagaimanapun juga para ibu dari anak-anak tersebut adalah anggota keluarga yang sangat penting di Taiwan, belajar bahasa ibu tidak hanya membuat mereka bisa berbahasa asing kedua, tetapi lebih mendekatkan hubungan mereka dengan sang ibu. Karena tidak peduli seberapa lama ibu-ibu mereka tinggal di Taiwan, hidup di wilayah terpencil Taiwan yang sangat mengagungkan ideologi patriarki membuat kedudukan para ibu tersebut selalu berada lebih rendah dibandingkan ayah, oleh karena itu kebanyakan wanita penduduk baru tidak diizinkan menggunakan bahasa ibu mereka di rumah untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga atau mengajarkannya kepada anak-anak mereka, akan tetapi penggunaan bahasa Mandarin mereka pun tidak begitu baik dan lancar. Tidak peduli seberapa banyak bahasa ibu penduduk baru yang bisa dikuasai oleh anak-anak, saya yakin para ibu penduduk baru itu sudah merasa senang. Selain itu, dalam program obor penduduk baru saya juga menemukan kegiatan ‘program meraih mimpi’, membuat perasaan saya bersuka cita, sebagai keturunan baru Taiwan, saya pasti bisa berbuat sesuatu yang berarti. Oleh karena itu saya pun merencanakan sebuah program “Xin Peng Hsing” (arti harfiah: hati yang menampung aroma harum dari kejauhan) untuk mengunjungi anak-anak Taiwan, saya tidak bermuluk-muluk bisa merubah kondisi masyarakat saat ini, saya hanya bisa berharap lebih banyak lagi penduduk baru yang bisa merasakan bahwa keberadaaan mereka itu sangatlah penting, bisa merasakan cinta anak-anak kepada mereka, serta melalui kesempatan ini bisa meningkatkan rasa percaya diri para wanita penduduk baru dalam menjalani kehidupan di Taiwan.

Dalam rencana “Hsin Peng Hsing” ini, saya mendesain dua macam kegiatan, serta memberikan hadiah kepada anak-anak yang mengikuti program setelah kegiatan berakhir. Pertama-tama, tema dari kegiatan ini adalah “Keliling Taiwan Pakai Sepeda, Demi Cinta Kepada Sang Ibu”. Saya merencanakan untuk mencari sebanyak 101 anak keturunan baru Taiwan di seluruh Taiwan dengan menggunakan alat transportasi kereta api dan sepeda lipat, serta membimbing 101 anak-anak tersebut menggunakan bahasa ibu mereka untuk mengucapkan secara lantang “Ibu, aku sayang kamu”. Selama program berjalan, saya akan mencari lokasi seperti Wanhua-Taipei, atau jalanan Myanmar di sekitar Zhonghe, pergi ke tempat-tempat para imigran baru berkumpul di setiap kota dan kabupaten untuk mencari anak-anak Taiwan. Setibanya di lokasi-lokasi tersebut, saya akan menanyai mereka satu per satu, bila melihat seorang ibu membawa anaknya, dan kelihatannya seperti memiliki wajah orang asing, saya akan mencoba bertanya apakah mereka adalah penduduk baru dan memberitahukan program saya, memohon persetujuannya untuk membiarkan anak-anak mengucapkan ‘ibu, aku sayang kamu’, kemudian saya akan membuat video singkat tentang mereka. Biasanya, para ibu tersebut akan setuju, mereka juga berharap bisa mendengarkan anak-anak mereka mengucapkan kata “aku sayang kamu” dalam bahasa ibu mereka.

Selain bahasa ibu, pemahaman terhadap kebudayaan ibu juga sangatlah penting, dalam pelaksanaan program kali ini, saya bertemu dengan Guru Hsiao dari SD Zhongzhou, beliau telah mengadakan kegiatan “Pekan Ragam Budaya” di sekolahnya sejak 10 tahun yang lalu, tujuannya adalah agar anak-anak bisa belajar tentang “menghormati, merangkul, menikmati” kebudayaan dari berbagai negara, sekolah tersebut bisa dikatakan sebagai teladan di Taiwan yang benar-benar memperhatikan keberagaman kebudayaan. Di tempat ini saya menemukan 30 lebih anak Taiwan baru, setiap anak begitu percaya diri mengucapkan “Ibu, aku sayang kamu” dengan menggunakan bahasa ibu, yang unik adalah terdapat sepasang anak kembar yang ibunya berasal dari Kamboja, karena saya tidak menyiapkan kata-kata “Ibu, aku sayang kamu” dalam bahasa Kamboja, mereka bertanya kepada ibu mereka bagaimana mengucapkan kalimat “Ibu, aku sayang kamu” dalam bahasa Kamboja sepulangnya ke rumah, saat dilakukan rekaman, mereka bisa menghafalnya dengan lancar, mungkin saja kedua anak kembar ini sehati ditambah lagi dengan rasa sayang mereka kepada ibunya, mereka bersama-sama mengucapkan kalimat tersebut dengan nyaring meski masih dalam proses rekaman percobaan, tidak bertele-tele, tidak terlambat, bahkan tidak ada perasaan tidak enak atau tidak nyaman.

其次,本計畫的活動二主題為「食在,讚不絕口」,我於本次環島旅程中,找到12對新住民母子(女),除了協助子女以媽媽母語完成卡片外,也幫忙小朋友能夠嘗試烹飪媽媽的母國菜餚給媽媽吃。在我執行此一活動過程中,拜訪的每一戶媽媽們幾乎都戰戰兢兢的站在旁邊目不轉睛的盯著小朋友做菜,深怕小朋友切到燙到,有一位媽媽手腳飛快,趁女兒在切食材時默默的先把調味料等等都處理完畢,女兒只剩下默默切食材的份,女兒打趣的說:「也好啦,經過今天,我已經是切滾刀塊、切絲、切條的達人了!」,看著每一位母親品嘗兒女第一次做的菜餚,她們臉上的表情含著複雜與喜悅,都吃得津津有味,問好吃嗎,都喊著:好吃好吃好好吃!讓我有十足成就感。
Yang kedua, tema kedua dari program ini adalah “Makanan yang menggoda lidah”, selama mengelilingi Taiwan, saya menemukan dua belas pasang ibu dan anak, selain membantu anak-anak menyelesaikan pembuatan kartu-kartu dalam bahasa ibu, saya juga membantu mereka untuk mencoba memasak masakan khas negara ibunya untuk dicicipi oleh sang ibu. Selama menjalankan program ini, setiap ibu dalam setiap keluarga berdiri begitu tegangnya di samping anak-anak, pandangan mata tidak berani ditujukan ke tempat lain, hanya tertuju pada anak-anak selama mereka memasak, mereka takut anak-anak mungkin saja kepanasan. Ada seorang ibu yang sangat cekatan, pas putrinya memotong bahan-bahan makanan, dia diam-diam mempersiapkan bumbu-bumbu yang diperlukan, putrinya hanya kebagian memotong bahan makanan, dia pun berkata, “Baiklah, setelah hari ini, aku adalah seorang yang ahli memotong, mengiris, mencincang!”, melihat para ibu mencoba mencicipi masakah buatan putra putri mereka, terlihat perasaan yang gembira yang bercampur aduk dengan perasaan lain di wajah mereka, benar-benar menikmati makanan itu, saat ditanya apakah enak, mereka semua berseru: enak, enak, enak!!! Hal itu membuat saya puas sekali.

Selain itu, setelah seluruh kegiatan berakhir, saya memberikan sebuah apron / celemek untuk setiap anak yang turut serta dalam program ini, nama celemek itu adalah: “ibu yang tak tergoyahkan”. Konsep dari desain celemek ini adalah: bagian kepala ibu menggunakan warna bendera negara asal nenek, bendera Taiwan pada di bagian perut, terakhir sebuah tanda 「∞」 yang sangat besar digabungkan di dalamnya, hal ini menunjukkan bahwa kasih ibu yang tiada terhingga kepada anak-anak, kita juga harus memberikan kasih yang sama besarnya terhadap ibu kita. Rambut ibu adalah pinggiran celemek, seperti halnya kepang rambut, digambar dengan menggunakan petal bunga anyelir, dalam kisah mitos Yunani bunga anyelir bermakna suci. Saya menyelesaikan gambar dari lima negara, karena pada akhirnya saya menemukan ibu-ibu yang berasal dari lima negara, yaitu Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Thailand, dan Kamboja.

Tentu saja, selama menjalankan program ini, tidak hanya merasakan beratnya proses ini, tetapi juga ada kalanya mengalami hal-hal yang mematahkan semangat. Saya teringat ketika berada di daerah barat Taiwan, saya pernah ditolak terus menerus, perasaan tak berdaya saat ditolak, ditambah lagi dengan kondisi fisik yang sangat capek membuat saya benar-benar tidak bertenaga. Mungkin saja dikarenakan adanya kontak batin antara ibu dan anak, ibu saya menelepon dan menanyakan kabar saya, saat itu juga saya merasakan kehangatan yang berlipat-lipat hingga butiran air mata memenuhi pelupuk mata, saya mempersingkat waktu berbicara dengan ibu supaya beliau tidak khawatir terhadap kondisi saya, saya duduk terperongkok di tepian sungai. Saya teringat kembali ketika program ini lolos seleksi, saya tidak takut apa pun, saya merasa kuat, pasti bisa menyelesaikan misi ini. Hingga pada waktu menghadapi frustrasi, saya baru tahu bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Saya telah menerima tantangan ini, tidak ada alasan untuk putus di tengah jalan, saya pun berteriak menghadap ke pesisir sungai: Ahhhhh!!!!!! Maju terus.

Selama berada dalam perjalanan, saya melihat begitu banyak penduduk baru yang begitu giat dan tekun dalam menempuh kehidupan mereka sehari-hari, ada orang yang membuka depot karena keahliannya memasak makanan lokal, ada orang yang membuka salon kecantikan rambut karena ketrampilannya memotong rambut, ada orang yang berperan sebagai ibu rumah tangga, setiap orang berpijak pada perannya masing-masing demi keluarga mereka, tumbuh dan berkembang di bumi yang asing ini, dan kita yang lahir dan dibesarkan di atas bumi Formosa ini, seharusnya bisa melangkah maju dengan lebih giat dalam menyongsong hari esok yang lebih cemerlang.

Selain itu, pada hari terakhir pelaksanaan program ini, saat sedang bersiap-siap untuk pergi, bersiap-siap menaiki sepeda, mata sebelah kiri saya mendapati seorang gadis mungil sedang berdiri di samping saya, saya pun membalikkan badan, menoleh ke arah gadis tersebut, dia menarik-narik baju saya dengan tangan mungilnya, bertanya: “Kakak, apakah kakak bisa mengajari saya sekali lagi bagaimana mengucapkan “Ibu, aku sayang kamu” dalam bahasa Indonesia? Aku ingin mengucapkannya kepada ibuku sepulang rumah nanti”. Mata saya berkaca-kaca dan memerah. Ingatan saya terhadapnya sangat mendalam, karena setelah selesai merekam bagian kisahnya, dia selalu berada di sekitar saya dan mulut mungilnya tiada henti berkata-kata dengan suara halus, ternyata dia takut kelupaan bagaimana mengucapkan kata-kata tersebut. Saya sangat berterima kasih kepada Guru Hsiao dan semua siswa di SD Zhongzhou di Cijin yang telah bersedia bekerja sama dengan baik, cinta kasih kalian layaknya angin laut yang berhembus di Cijin, bertiup ke dalam lubuk hati saya, aroma asin tersebut bukanlah asinnya air laut, tetapi adalah tetesan air mata yang jatuh karena keharuan atas apa yang telah kalian lakukan.

Setelah menginjak usia 20 tahun saya baru berani melompati tembok besar ini, sebuah tembok di mana ibu saya adalah seorang penduduk baru, saya secara perlahan juga mulai memahami bahwa sesungguhnya ibu saya tidaklah berbeda dengan orang lain, tidak, ibu saya bahkan jauh lebih baik dibandingkan dengan ibu mana pun juga, lebih luar biasa. Oleh karena itu, melalui program nyata ini dan pengalaman pribadi, saya berharap sebanyak tiga ratus ribu lebih anak-anak Taiwan baru yang kini berada di Taiwan bisa memahami jati dirinya, serta menyayangi ibu mereka, seseorang yang datang dari negeri yang jauh, yang telah bersusah payah menjalani kehidupan di Taiwan dan membesarkan anak-anak mereka, bahkan terkadang seringkali menjadi seorang ibu yang berada pada posisi yang lemah, baik itu di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat, diharapkan mereka bisa memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam menjalani kehidupan ini dikarenakan cinta dan kasih sayang dari anak-anak mereka.

Yang terakhir, saya ingin berterima kasih kepada Badan Imigrasi Nasional karena telah menyediakan kesempatan “Program Meraih Mimpi” ini, saya yang berasal dari keluarga kurang mampu ini bisa memperoleh subsidi dari negara, membuat saya tidak perlu lagi mengkhawatirkan masalah biaya, dan menyelesaikan program Hsin Peng Hsing di sekeliling pulau ini dengan lancar. Saya juga berharap program meraih mimpi dari Badan Imigrasi ini bisa terus dilanjutkan, agar para generasi kedua penduduk baru yang memiliki semangat tinggi seperti saya ini bisa mewujudkan impian mereka.


top