Tekan Enter untuk menuju ke area konten utama
:::

situs informasi pengembangan pemberdayaan imigran baru

Partisipasi Publik
:::

Pemandangan beragam kelompok etnik di Sekolah Dasar Dongan, anak-anak usia sekolah Taiwan berebut belajar bahasa penduduk baru

Pengaturan Tingkat Tulisan:
  • Tempat:Taiwan
  • Tanggal Rilis:
  • Tanggal Revisi:2019/10/28
  • Jumlah Pembacaan:329



(Laporan khusus bahasa penduduk baru 3) Sekolah Dasar Dongan terletak di pinggiran kota Taoyuan, para siswanya terdiri atas lebih dari dua puluh kelompok etnis, sebanyak 20% siswa sekolah merupakan anak-anak penduduk baru, sebesar 20% merupakan anak-anak penduduk aborigin. Para siswa tersebut sangat senang mempelajari keberagaman kebudayaan, meski kedua orang tuanya adalah orang Taiwan, mereka pun berebut agar bisa belajar bahasa penduduk baru.

Begitu masuk ke SD Dongan, beragam lukisan dan pernak-pernik di dalam sekolah akan menarik perhatian kita, hal yang paling menarik perhatian mata kita ada di dinding tangga pada lorong masuk yang mengarah ke lantai dua, ada poster bergambar beruang berbulu dengan gaya yang berbeda, setiap ekor beruang tersebut memakai busana tradisional dari berbagai negara yang beragam, mulai dari Vietnam, Indonesia, Malaysia, hingga Thailand, Myanmar, Jepang, rupa yang lucu dan menarik tidak hanya disenangi oleh anak-anak sekolah, tetapi juga menarik perhatian dan tatapan mata para guru dan tamu-tamu yang melewatinya.

Namun demikian, pemandangan di Sekolah Dasar Dongan dulunya tidaklah demikian, mereka pernah menghadapi krisis kehilangan murid-muridnya belajar di tempat lain.

Kepala sekolah Huang Mu-yin bernostalgia ke masa tujuh tahun yang lalu saat beliau baru saja tiba di sini, beliau mendapati bahwa persentase pendaftaran murid tidaklah banyak, sebagian besar orang tua setempat tidak bersedia menyekolahkan anaknya di Dongan. Setelah menanyakan hal tersebut baru tahu bila banyak orang merasa bahwa jumlah penduduk baru dan penduduk aborigin di sekolah ini terlalu banyak, para keluarga dengan latar belakang ekonomi dan sosial yang lebih baik lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah di pusat kota.

Lokasi SD Dongan berada di persimpangan antara Pingzhen, Bade, Longtan, dan Daxi, awalnya merupakan perkampungan veteran, oleh karena itu terdapat banyak sekali keturunan veteran yang berasal dari Cina Daratan, tidak sedikit pula yang menikahi wanita dari Asia Tenggara. Selanjutnya, karena adanya perkembangan kota, uang sewa di daerah ini pun menjadi murah, menarik banyak minat orang-orang yang bekerja di perkotaan untuk tinggal di lokasi ini, berbagai kelompok dari etnis aborigin, peranakan Tionghoa, pekerja migran pun kemudian menetap di sini.

“Terdapat lebih dari dua puluh kelompok etnis di sekolah kami, total ada 750 orang siswa, sebanyak hampir 130 orang adalah penduduk baru, selain itu masih ada sekitar 130 orang kelompok aborigin”, kata Huang Mu-yin yang begitu hafal dan lancar saat memberikan deskripsi tentang kondisi sekolahnya, bila orang lain melihat situasi itu sebagai situasi yang sulit, namun di mata beliau situasi tersebut malah menjadi keunikan tersendiri yang mendatangkan kesempatan.

Saat ini SD Dongan tengah membuka pelajaran bahasa Vietnam, bahasa Indonesia bagi siswa dengan rentang usia yang berbeda, mereka juga membuka pelajaran pengenalan kebudayaan dari bahasa lainnya.

Tujuh tahun yang lalu, SD Dongan mulai menggalakkan pendidikan ragam budaya, memberi semangat kepada para siswa untuk mempelajari bahasa Vietnam, bahasa Indonesia dan bahasa lainnya. Saat itu, kebijakan penduduk baru Taiwan baru saja berkembang, termasuk Huang Mu-yin, pada dasarnya tidak pernah terpikirkan bahwa ada satu hari bahasa penduduk baru dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar yang baru yang merupakan mata pelajaran pilihan wajib.

Huang Mu-yin menjelaskan, kebudayaan di dalam sekolah ini sangat beragam, namun bagaimana caranya agar anak-anak bisa “sadar” akan keberagaman budaya, hal itulah yang harus dipikirkan dalam sistem pendidikan ini. Bila tanpa melalui pelajaran, perencanaan model situasi, bimbingan kegiatan, maka para siswa tersebut tidak mampu menemukan keunggulan budayanya sendiri, tidak mampu menjadi bangga akan budayanya sendiri, juga tidak mampu memperluas wawasan anak-anak dan memperkaya pandangan kebudayaan mereka.

Batasan dalam pelajaran kebudayaan SD Dongan adalah “boleh tidak menyukai, tapi harus menghormati”. Huang Mu-yin mengatakan, setiap anak memiliki sisi baik dan buruk, mungkin saja dia tidak mengerti mengapa harus memakai kerudung, tidak suka aroma kari, membenci masakan yang mengandung kecap ikan, akan tetapi wajib menghormati keunikan masing-masing budaya.

Asosiasi guru di SD Dongan melakukan analisa dengan sangat cermat mengenai latar belakang dari setiap jenis kebudayaan. Misalnya saja orang Myanmar suka memakai sandal jepit, hal itu dikarenakan musim hujan yang sangat panjang di negara tersebut, memakai sandal jepit akan lebih mudah kering. Terlebih lagi, orang Myanmar seringkali masuk ke dalam kelenteng, harus sering melepas sepatu, oleh karena itu sandal jepit merupakan pilihan yang paling tepat dan memudahkan.

Ayah dari sepasang kakak beradik yang bernama Chen Pei-qin dan Chen Yue-en yang tengah menempuh pendidikan di SD Dongan adalah seorang berkebangsaan Taiwan. Sang adik, Chen Yue-en, belajar bahasa Vietnam, karena dia merasa bahasa Vietnam sangat menarik, ungkapan sapaan terhadap guru pria dan guru wanita tidaklah sama. Sang kakak, Chen Pei-qin, belajar bahasa Indonesia, karena dia merasa masakan Indonesia yang asam dan manis sangatlah enak, sembari bercanda dia pun berujar “Adikku tidak ingin sekelas dengan aku, makanya dia memilih bahasa Vietnam”.

Sebenarnya, kedua kakak beradik itu sangat senang belajar bahasa Asia Tenggara, di tempat kerja ibunya terdapat begitu banyak rekan kerja berkebangsaan Vietnam dan Indonesia, percakapan yang mereka berdua pelajari dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sepasang kakak beradik lainnya, Wu Hui-ling dan Wu Li-ling, kedua orang tuanya berasal dari Vietnam, mereka berdua baru datang ke Taiwan setahun lamanya, di satu sisi mereka bergabung dalam bimbingan belajar bahasa Mandarin, pada waktu yang sama mereka juga bertugas sebagai asisten guru bahasa Vietnam.

Kakak beradik keluarga Wu tersebut mengatakan, sang ayah begitu gembira saat tahu sekolah mereka membuka pelajaran bahasa Vietnam, mendorong mereka untuk memahami lebih banyak tentang kebudayaan Vietnam. Di kelas, guru juga sering meminta mereka untuk berbagi pengalamannya saat berada di Vietnam, hal tersebut membuat keduanya semakin percaya diri dan yakin akan kemampuan diri mereka sendiri.

Guru bahasa Vietnam di SD Dongan, Huang Yue-hung, berkata: “Kami tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga mengajarkan kebudayaan”.

Pengajaran materi bahasa Asia Tenggara tidak bisa diterapkan dengan hanya mendengarkan guru berbicara, murid hanya mendengarkan saja, perlu memikirkan sebuah permainan di setiap kali pertemuan, menarik minat para siswa, kadang kala Huang Yue-hung membawa kuliner khas ke dalam kelas untuk dinikmati bersama, kadangkala dia pun mengajar dengan memakai pakaian nasional Vietnam “Ao-Dai” yang serba putih, tidak jarang pula dia memperkenalkan tempat wisata di Đà Nẵng, “yang paling penting adalah hal-hal yang baru dan unik”.

“Di Vietnam, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bisa berkuliah di jenjang universitas”. Saat Huang Yue-hung menikah dan datang ke Taiwan, dia mulai belajar bahasa Mandarin, hal ini dilakukan agar bisa menjadi pemandu wisata untuk membantu kondisi ekonomi keluarga, tidak pernah terpikirkan sama sekali bahwa suatu hari dia bisa lolos seleksi menjadi tenaga pengajar bahasa penduduk baru, masuk ke sekolah dasar di Taiwan sebagai seorang guru.

Dia berujar, pendidikan di Taiwan sangat unik, anak-anak tidak boleh dipukul, tidak boleh dimarahi, harus bisa menarik minat siswa selama pengajaran, hal ini sangat membutuhkan profesionalisme untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Kini, dia sedang menempuh pendidikan di universitas, dengan harapan bisa mendapatkan gelar sarjana.

Huang Shuang-zhi yang berasal dari Myanmar berjualan bakpao yang sangat terkenal di Taoyuan, dia juga sering ikut serta dalam kegiatan pengajaran bahasa di sekolah, membagikan pengalaman hidupnya selama di Myanmar. Huang Shuang-zhi dengan bercanda mengatakan, metode pengajaran yang dipelajari di Taiwan tidaklah sama dengan yang di Myanmar, tidak menekankan pada pengajaran pasif, tetapi harus berfokus pada diri siswa itu sendiri, harus bisa menarik minat siswa selama mengajar di dalam kelas, “para guru harus benar-benar giat”.

Huang Shuang-zhi menjelaskan, hal yang membuatnya paling tidak bisa menyesuaikan diri adalah “konsep waktu”, orang-orang Myanmar melihat waktu dengan lebih “fleksibel”, sekolah di Taiwan didasarkan pada ketepatan waktu, seakan-akan berburu dengan waktu. Dia memberikan saran, saat orang Taiwan belajar bahasa, jangan ada prasangka, bila para orang tua bisa sama dengan anak-anak, memiliki pemahaman yang lebih banyak, maka dapat mengetahui bahwa belajar bahasa Asia Tenggara merupakan suatu keunggulan tersendiri.

(Editor: Chen Ching-fang)

top